We are "The Fighter" family

We are "The Fighter" family
Alamat kami : Jl. Pahlawan Revolusi, Komplek Aggaran No. 12, Pondok Bambu, Jakarta Timur. Tlp rumah : 021 - 86603637

28.12.05

Rapat dengan pejabat negara

Hari ini saya ada presentasi penting didepan seorang pejabat setingkat eselon 1 di sebuah departemen pemerintah. Seperti biasa saya segera bergegas menyiapkan segala sesuatu yang perlu saya bawa, tetapi sebenarnya jauh dalam lubuk hati saya ada rasa malas menemui orang ini. Bukan apa2, tetapi karena sampai saat ini pun saya tidak tahu mau menemui dia tepatnya jam berapa, bahkan ajudannya pun belum memberikan konfirmasi tentang waktu pertemuan nanti. Konfirmasi yang saya terima hanya, saya disuruh hadir sepagi mungkin, kemudian tunggu disekretariatnya, dan jika Bapaknya ada waktu luang baru saya disuruh masuk. Terus terang untuk kondisi seperti ini bukan baru pertama kali ini saya alami, bahkan sudah teramat sering sekali saya mengalaminya, sehingga saya sudah hapal sekali.
Dua hari yang lalupun begitu. Saya dijadwalkan bertemu beliau jam 12 tepat waktu makan siang, karena jam segitu biasanya Bapaknya sedang ada waktu luang, sehingga saya ada kesempatan bisa menemui. Sampai jam 2 saya masih dalam penantian saya, sampai akhirnya ada konfirmasi bahwa rapat ditunda hari kamis (yaitu hari ini) karena Bapaknya ada rapat mendadak dengan seorang pejabat dari Pelni.
Subhanallah, saya heran dengan sikap para pejabat bangsa kita ini. Benar2 tidak menghargai waktu orang lain. Padahal pekerjaan yang mau saya presentasikan ini juga berhubungan dengan kepentingannya dia. Dalam hati saya membatin, mungkin kalo saya bisikkan ke ajudannya bahwa saya mau ngantar uang, jam berapapun pasti saya diterima. Tapi ah, saya tidak boleh su'udzon. Saya saja yang terlalu egois. Bagaimanapun juga beliau adalah seorang pejabat negara. Kepentingannya banyak, bukan hanya saya saja, tetapi rakyat yang lain mungkin juga sedang membutuhkan hasil kerja keras beliau.
Berbekal pemikiran positif tersebut saya mantap melangkahkan kaki untuk menemui beliau hari ini.

Buku sebagai sumber inspirasi

Saya sengaja menaruh rak koleksi buku2 saja di mushola kecil dalam rumah, supaya setelah
selesai sholat saya bisa memandanginya. Ada kenikmatan tersendiri melihat koleksi buku2 itu.
Karena tiap2 buku yang ada mengandung kenangan tersendiri dan inspirasi yang baik langsung
maupun tidak langsung ikut mewarnai dinamika hidup saya. Ketika masih SMA, saya begitu menyukai buku2 sastra. Karya2 Kahlil Gibran, Umar Kayam, Marah Rusli, Ronggowarsito, Pramodya Ananta Toer bahkan cerita klasik Oidipus sampai Antigone banyak mengisi hari2 remaja saya. Yang akhirnya menyeret saya untuk masuk kedalam dunia Teater di sekolah tempat saya belajar. Setelah itu saya berkenalan dengan karya2 Emha Ainun Najib, Gus Dur, WS Rendra, Danarto dan lain sebagainya yang membuat saya semakin tergila-gila dengan dunia Teater. Apalagi Emha atau Cak Nun, dengan gaya penulisannya yang sangat Njawani, banyak memberi petuah hidup dalam diri saya tentang falsafah jaman edan; "Saiki jaman'e jaman edan, sopo sing ora edan ora keduman, tapi sak begja2ne wong sing edan luwih begja wong kang eling lan waspodo (Ronggowarsito)" diuraikan oleh Cak Nun dengan sangat sederhana sehingga mudah memahaminya. Sayang hanya satu bukunya Cak Nun yang selamat tersimpan di rak saya sampai sekarang, "Slilit Sang Kyai"

Memasuki masa kuliah, kepala saya dirasuki oleh pemikiran2 liar ala kaum sosialis idealisme. Orang2 seperti Che Guavara, Karl Max, Tan Malaka, Soekarno bahkan Budiman Sudjatmiko membuat saya tidak hanya mengoleksi bukunya saja, bahkan kaos, bagde atau stiker pun ikut saya pajang dan saya pakai kemana2, walaupun kadang sedikit ngeri juga kalo ketauan aparat orde baru. Tapi dasar anak muda, otak saya tidak berpikir sejauh itu, bahkan semakin bangga
ketika di cap beraliran progressive revolusioner. Tetapi masa kuliah saya adalah masa paling revolusioner dalam hidup saya. Dimana perubahan terjadi demikian cepatnya dalam setiap episode hidup saya masa itu. Gaya hidup mandiri yang sudah biasa saya jalani membuat saya
mencoba berbagai macam bentuk usaha demi menyambung hidup. Mulai dari dagang stiker, bikin sablon kecil2an, jaga warnet, jadi volunteer di LSM, jualan handycraft, bikin event
organizer apapun sudah pernah saya coba. Dan hampir 90% upaya saya tersebut hanya seumur
jagung. Kebanyakan bangkrut karena tidak dikelola dengan baik, terlalu berani mengambil
resiko dan kas habis untuk belanja hal2 yang tidak prioritas. Kondisi tersebut membuat saya
lunglai. Apalagi saya sudah berkorban cukup banyak, termasuk menunda kuliah saya. Sampai
akhirnya saya ketemu Buku 50 Usahawan Tahan Banting karya Rheinald Kasali. Waah, kayak motor yang barusan di Tune Up, saya begitu termotivasi membaca buku itu. Beberapa bulan kemudian setelah menghimpun energi kembali dan menata hati, saya menghimpun teman2 kuliah saya yang akhirnya berdirilah sebuah perusahaan kecil2an ala mahasiswa yang bergerak di bidang Software Production House, yang akhirnya menjadi cikal bakal perusahaan saya saat ini.

Tetapi tentunya saya bisa begitu bukan semata2 hanya karena sebuah buku saja. Masih banyak
hal lain yang ikut menjadi penentu dalam menentukan platform bisnis saya. Kebetulan untuk
sekarang ini rak buku saya hampir sebagian besar didominasi buku2 agama. Mungkin karena
masih begitu rendahnya ilmu agama saya sambil saya terus menjalani masa2 hijrah. Semoga
Allah membimbing saya dan memberi kekuatan dalam membangun bisnis yang barokah. Amin

kisah pinjam meminjam

Di profil saya ada sebuah kalimat tentang "kisah pinjam meminjam". Kisah apa itu? Begini ceritanya...

Demi efisiensi saya menyulap ruangan diatas rumah saya menjadi sebuah kantor atau istilah kerennya jaman sekarang SOHO (Small Office Home Office), walaupun terkadang saya kesulitan untuk menggiring klien-klien saya untuk meeting di tempat yang saya sebut "kantor" itu, karena selain tempatnya yang masuk dipemukiman padat penduduk, pembantu saya sering sekali nyuci didepan rumah sehingga tidak lucu kan kalau saya menggiring klien yang berpotensi memberi omset jutaan sambil berjalan melewati orang lagi asyik nyuci pakaian-pakaian "private" saya. Alhasil, hanya untuk mengatasi problem meeting inilah saya dipinjemin sebuah meja makan pribadi di restaurant Hotel Grand Hyaat. Sekali lagi "dipinjemin", karena memiliki sebuah meja pribadi disebuah restaurant hotel sekelas Grand Hyaat bagi saya pun tetap tidak mungkin untuk saat ini. Yang akhirnya membuat saya agak naik kelas karena tempat meeting saya bersama kolega bernama Grand Cafe Grand Hyatt Hotel. Walaupun sesekali saya harus ngalah jika waktunya berbenturan karena pemilik sahnya sedang makan dimejanya.

Ramadhan kemarin adalah ramadhan pertama yang coba saya lalui secara kaffah setelah mengalami masa hijrah dari saat2 jahiliyah saya. Dan di bulan itulah ada seorang sahabat asing saya yang mengenalkan koleganya dari Singapore. Seorang Vice President sebuah perusahaan IT yang berkantor pusat di India. Dia berencana mencari local partner di Indonesia yang tentunya sahabat saya berpikir tentu cocok jika dikenalkan dengan saya karena memang bisnis saya IT. Akhirnya disepakatilah kerjasama bisnis antara perusahaan kami dan perusahaan Singapore tersebut. Sebagai langkah awal dia meminjam alamat kantor saya yang notabene alamat rumah saya juga sebagai alamat kantor cabangnya di Indonesia. Dalam hati saya tertawa geli membayangkan ekspresi wajahnya ketika berkunjung kekantornya nanti di Indonesia ternyata ada ibu2 tua sedang bersenandung sambil tangannya penuh busa sabun lagi asyik nyuci pakaian. Tetapi tidak apa, yang penting berkat kebaikan saya meminjamkan alamat kantor saya, kolega saya tersebut sudah langsung memiliki kantor cabang di Indonesia tanpa perlu repot mengurus tetek bengek birokrasi pendirian perusahaan baru. Dan yang pasti saya siap mempertanggungjawabkan eksistensi kantor cabangnya di Indonesia.

Bagi seorang usahawan, pinjam meminjam bukanlah hal yang tabu. Tentu pinjam meminjam disini harus dalam kerangka yang positif untuk mendukung sebuah eksistensi bisnis. Dan yang paling penting, harus disiapkan mental penuh tanggung jawab, saling terbuka dan menjunjung tinggi komitmen yang telah disepakati dalam acara pinjam meminjam tersebut. Jangan malah dijadikan kesempatan untuk ngemplang dan memanfaatkan kesempatan dibalik kebaikan orang lain.

Preambul

Ini adalah blog pertama saya. Walaupun sudah amat sangat lama sekali saya mengamati dan membaca berbagai macam blog dari sahabat2 saya namun tak kunjung tertarik juga saya membuat blog untuk menulis apapun yang saya temui. Sampai suatu saat seorang sahabat saya yang juga seorang usahawan menganjurkan saya untuk membuat blog sebagai media sharing dan berbagi pengalaman mendorong saya untuk membuat blog ini.

Sama dengan comment yang pernah saya kirim ke sahabat saya Bung Badroni (pemilik Toko Manet Busana Muslim), Bisnis menurut saya adalah sense. Sense diasah dengan mind, social, culture dan habit.
Mind adalah akal, yang membuat kita bisa mengukur kemampuan bisnis apa yang bisa kita lakukan, kemudian dibandingkan dengan resiko yang mungkin bakal terjadi, sambil kita memetakan pasar, mengamati trend yang sedang berlangsung dan mempelajari kompetitor. Akallah yang memungkinkan kita melakukan itu semua.
Kemudian social, adalah kemampuan kita untuk memperluas pergaulan, membangun jaringan untuk membuat orang mengenal kita, mengenal bisnis yang kita jalankan, dan mengenal pribadi kita yang pada akhirnya bisa membuat orang mengukur apakah pribadi kita adalah pribadi yang baik untuk diajak berpartner dalam bisnis atau tidak. Tetapi disini saya tidak setuju kalo kita bersosial hanya semata-mata untuk tujuan bisnis. Banyak pengalaman sukses dari sahabat2 saya yang mendapatkan peluang bisnis karena sosial mereka berhasil. Dan pada awalnya mereka tidak bicara bisnis, hanya silaturahmi, yang pada akhirnya bisa merembet untuk menciptakan sebuah peluang usaha yang prospektus. 70% dari siklus bisnis sayapun juga berasal dari sosial yang saya bangun. Itu berhubungan pula dengan sektor bisnis saya dibidang jasa konsultan yang hampir didominasi oleh unsur trust atau kepercayaan yang tentunya saya harus punya sosial yang bagus untuk mendapat kepercayaan dari kolega2 saya.
Lalu culture atau budaya, seorang pengusaha yang baik adalah pengusaha yang menjunjung tinggi nilai etika, sehingga dia tidak dengan gelap mata menghalalkan segala cara untuk melanggengkan eksistensi bisnisnya. Mengenal etika tentu harus mengenal juga budaya, tentang bagaimana memperlakukan orang, berbicara dengan orang lain yang tentunya jika etika2 budaya tersebut kita langgar akan menimbulkan citra negatif orang lain kepada kita. Anda mau berbisnis tetapi orang lain mempunyai penilaian negatif terhadap anda?tentu tidak, karena pasti bisnis yang sudah anda bangun tidak akan berjalan lama dan langgeng.
Yang terakhir adalah habit yang berhubungan dengan kebiasaan2 yang kita lakukan. Sebagai seorang konsultan, saya dituntut untuk memberikan image yang positif kepada klien2 saya, sehingga konsekuensinya saya harus hadir sebelum mereka datang. Hal ini akan berat saya lakukan jika saya tidak membiasakan diri untuk disiplin. Selain disiplin bersifat mikro ada juga disiplin yang bersifat makro. Yaitu disiplin dalam kita berbisnis, atau dalam pengertian lain fokus dengan bidang yang kita tekuni. Banyak orang mudah tergiur dengan keberhasilan temannya yang akhirnya membuat mereka meninggalkan bisnis yang ditekuni beralih ke bisnis yang dipandangnya berhasil. Tetapi setelah mereka masuk didalamnya, kondisi yang terjadi ternyata tidak seindah pada saat pertama mereka lihat. Akhirnya karena kurang menguasai dan tidak terampil mengelola hal baru, bisnis itupun tidak berjalan lama. Banyak sahabat2 saya yang karena mereka "istiqomah" menekuni bisnis, sekarang sudah menjadi mapan. Padahal apa yang mereka usahakan itu adalah hal2 yang dianggap remeh dilingkungan kita.

Pengalaman adalah guru kita yang terbaik. Opini saya diatas saya simpulkan dari pengalaman2 sahabat saya, kompetitor saya dan tentunya dari pengalaman pribadi saya sendiri sebagai seorang usahawan. Belum tentu tepat 100% bagi anda, tetapi semoga bisa bermanfaat untuk menjadi referensi.